Abdul Hadi: Pejuang Misterius, Pemimpin Protes Petani di Desa Pasarean, Bogor Barat, 1935

- 25 November 2023, 21:35 WIB
(Kiri) Selebaran pemerintah agar membantu para pejuang di masa revolusi. (Kanan) Tumpukan padi hasil panen petani di Bogor
(Kiri) Selebaran pemerintah agar membantu para pejuang di masa revolusi. (Kanan) Tumpukan padi hasil panen petani di Bogor /Diorama ANRI dan KITLV Free/

IDEJABAR – Daerah Bogor Barat dikenal sebagai tempat lahirnya para pejuang melawan penjajahan. Tidak sedikit nama mereka yang diabadikan sebagai nama jalan, misalnya: KH Abdul Hamid, Ace Tabrani, Kapten Dasuki Bakri, E.M. Kahfie, Moh. Noh Nur, Ojeh Kurnaen, KH M. Parta, dan KH Sholeh Iskandar.

Masih banyak lagi nama pejuang di Bogor Barat yang terekam dalam ingatan warga dan dokumen, namun belum ditulis menjadi naskah sejarah akademis. Satu di antaranya ialah tokoh pejuang misterius dari Desa Pasarean, Cibungbulang (sekarang Pamijahan), Bogor, yakni Abdul Hadi. Warga Pasarean kadang menyebutnya Ki Dulhadi atau Haji Dulhadi.

Dulhadi ialah pelopor perjuangan di Bogor Barat. Ia memimpin gerakan protes petani kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1935; sepuluh tahun sebelum Indonesia merdeka. Kapan tepatnya protes itu terjadi, tanggal berapa dan bulan apa, tidak teringat lagi oleh sesepuh di Kecamatan Cibungbulang dan Pamijahan.

Namun mengingat peristiwa itu cukup besar, sampai-sampai gubernemen (pemerintah) mengerahkan opas polisi untuk menanggulanginya, maka peristiwa tersebut niscaya terekam di Arsip Nasional.

Baca Juga: KAPTEN DASUKI BAKRI (1909-1957): Ustad yang Komandan Batalyon Siliwangi

Menentang Pajak Tuan Tanah

Protes itu berawal ketika Abdul Hadi menolak menyerahkan sebagian padi miliknya untuk membayar cuke (pajak) kepada tuan tanah partikelir (swasta) yang menguasai daerah Cibungbulang dan Leuwiliang, J.C.A. Kievits. Ia mengusir petugas pajak dari sawahnya, ketika hendak diroris (dihitung jumlah padi yang harus disetor) untuk dibawa ke gudang tuan tanah di Cimayang.

Pada dasawarsa 1930-an, pajak yang dibebankan kepada petani di memang tidak sedikit, mencakup:

  1. Membayar pajak 4 gulden tiap orang yang telah menikah;
  2. Pajak padi sawah setiap panen 20%, tapi praktiknya sampai 50% dan mesti disetor dalam keadaan kering giling lalu diantar ke gudang tuan tanah di Cimayang dengan ongkos sendiri;
  3. Pajak dari penanaman kirai;
  4. Pajak pohon kelapa;
  5. Membayar contingent tiap menebang kayu di kampung;
  6. Membayar bea tiap memotong sapi atau kerbau dan daging lemusirnya diambil sebelah untuk disetor ke tuan tanah.

Ki Dulhadi mengusir petugas cuke itu lalu menancapkan bendera merah di Gunung Menyan, pertanda menantang tuan tanah dan mengilhami warga desa untuk menolak membayar pajak.

Baca Juga: Ace Tabrani (1901-1968): Pejuang dan Muballig tanpa Pamrih dari Bogor Barat

Halaman:

Editor: Edi ES


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x