“Jika tidak ada kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun Kiai Abdullah bin Nuh dan Oemar Bakry, rasanya saya tidak akan bisa berbahasa Arab,” ujar Prof. Dr. Machasin, MA pada tahun 2004.
“Waktu saya kuliah, belum ada kamus Indonesia-Arab, yang ada kamus Arab-Melayu Mahmud Yunus. Tapi bahasa Melayu kan membingungkan,” sambung Prof. Machasin, yang juga pernah menjabat Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI, dan kini Ketua Majelis Ulama Indonesia Yogyakarta.
Demikianlah arti penting kamus yang disusun Abdullah bin Nuh & Oemar Bakry. Kamus ini pertama kali diterbitkan 1959, tebalnya 330 halaman dan dihiasi gambar ilustrasi 28 halaman. Pada 1990-an, kamus ini masih dicetak ulang.
Siapapun yang menyusun kamus, pastilah ia orang yang tekun dan terpelajar serta mencintai ilmu. Soalnya menyusun kamus tiga bahasa bukan pekerjaan gampang, diperlukan ketekunan, ketelitian, dan ilmu yang luas; lagipula pada dasawarsa 1950-an, honornya tidak seberapa besar.
Sejak kecil, Abdullah bin Nuh memang dikenal sebagai pecinta ilmu, tekun dan jenius. Dalam usia 13 tahun, ia mampu menggubah syair berbahasa Arab.
Rupanya bahasa Arab bukan hal asing bagi dirinya. Di usia balita, ia dibawa keluarganya bermukim di Makkah selama dua tahun. Ia tinggal bersama Nyi Raden Kalifah Respati, nenek dari ayahnya yang kaya raya dari Cianjur dan ingin meninggal di Makkah.
Pengalamannya tinggal di sana cukup meninggalkan kesan khusus. Ia seringkali bercerita pada keluarganya tentang pedagang-pedagang makanan pagi di Makkah yang menjajakan barang dagangan sambil berseru el batato ya Nas. “Kalau di Indonesia, tak ubahnya seperti pedagang-pedagang yang ada di Yogya yang menjajakan dagangannya sambil berseru “Gudege nggih den…. Gudege nggih den,” tuturnya kepada keluarga.
Menimba Ilmu dari Cianjur hingga Kairo
Sepulangnya dari Kairo, ia tingal di Ciwaringin, Bogor untuk mengajar Madrasah Islamiyah, lalu pulang ke Cianjur untuk mengajar di pesantren keluarganya (1930). Tak lama kemudian ia dinikahkan dengan R. Mariyah binti R. Haji Abdullah. Saat itu ia pulang-pergi Cianjur-Bogor untuk mengajar di madrasah dan sekolah menengah umum MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Tentu bukan perkara mudah dapat mengajar di sekolah dengan sistem pendidikan Belanda seperti MULO.
Di masa itu, ia aktif menyebarkan semangat nasionalisme anti penjajahan melalui ceramah dan pengajaran di majelis taklim, pesantren dan di sekolah-sekolah.