IDEJABAR - Dunia politik meski, kata Iwan Fals adalah penuh dengan intrik, namun tetap memiliki daya magnetik yang kuat bagi berbagai kalangan. Buktinya, sejumlah pengusaha, artis, ulama, aktivis, penganggur bahkan pensiunan ASN pun banyak yang menjadikan “politik” sebagai dermaga barunya.
Mereka umumnya memasuki dunia politik dengan memilih ikut bertarung di kancah Pemilihan Calon Anggota Legeslatif (Pileg). Sayangnya, banyak diantara mereka yang gagal memasuki dunia barunya, meski ada juga yang berhasil menjadi “penghuni” dunia barunya.
Bermodalkan Uang dan Popularitas itu Tak Selamanya Indah
Di Kota Tasikmalaya, jika kita amati ada beberapa mantan PNS atau ASN yang telah pensiun atau purna tugas, lalu “mengadu nasib” dalam Pileg dan berhasil menjadi Anggota DPRD Kota Tasik. Sebut saja, H Undang Syarifudin, H Ate Tachjan, H Dayat Mustofa, dr. Wahyu Sumawijaya yang sekarang masih aktif dan baru terpilih kembali menjadi Anggota DPRD Kota Tasik.
Namun dari sederet nama yang berhasil lolos, ada pula yang gagal memasuki Gedung DPRD Kota Tasik pada Pileg 2024 ini. Mereka antara lain H M Firmansyah, mantan Kepala Dinas KUMKM Perindag, H Tarlan, mantan Kepala Bapelitbangda, dr Wasisto Hidayat, mantan Direktur RSUD dr Soekardjo. H. Odang Saepudin SE, mantan Camat Purbaratu.
Lalu ada Iwan Setiawan, mantan ASN Dinas Lingkungan Hidup, Agus Jamaludin, mantan Sekmat Cibeureum, Karsidi, mantan ASN Dishubkominfo, drg Endang Suwarman, mantan Sekretaris Disdukcapil. Mereka adalah mantan ASN dilingkungan Pemkot Tasikmalaya yang gagal memasuki Gedung DPRD Kota Tasik.
Menanggapi fenomena banyaknya mantan pejabat Pemkot Tasik yang berusaha “mengadu nasib” di dunia politik, pengajar Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA) Bandung, Nandang Suherman, menegaskan bahwa itu membuktikan masih adanya semangat pengabdian yang tidak surut. Jika banyak yang gagal, lanjut Nandang, bisa jadi itu karena tidak dipersiapkan secara matang.
Baca Juga: Golkar Kembali Calonkan Ridwan Kamil Di Pilgub Jabar
“Ya mungkin bisa saja mereka masih beranggapan punya pengaruh atau punya uang untuk biayai proses pilegnya,” ungkap Nandang seraya mengingatkan bahwa antara Eksekutif dan Legeslatif itu adalah dua “kutub” yang berbeda yakni eksekutor dan pengawas.
“Birokrasi betanggung jawab ke atasan, Legeslatif bertanggungjawab ke publik,” papar Nandang saat dihubungi IDEJABAR via selulernya, Sabtu, 9 Februari 2024.
Ditambahkan Nandang, birokrat biasa bekerja dengan panduan atau perintah yang jelas dan sangat teknokratis. Sementara, Legreslatif atau politisi bekerja berdasarkan pembacaan terhadap apa yang menjadi harapan dan kemauan publik.***