IDEJABAR – Kapan dan dimanakah pesantren tertua di Indonesia?
Kalau pertanyaan ini dijawab dengan ilmu pengetahuan (sejarah, arkeologi, filologi), maka jawabannya adalah: tidak dapat dipastikan!
Namun jika jawabannya berdasarkan klaim atau kisah yang diceritakan masyarakat dari mulut ke mulut dan dari tahun ke tahun (dalam antropologi disebut tradisi lisan), maka jawabannya lumayan banyak.
Sebab, beberapa pesantren mengklaim paling tua di wilayahnya. Misalnya Pondok Pesantren (PP) Al Kahfi Somalangu, Kebumen, Jateng, menyatakan berdiri pada tahun 1475: usianya lebih dari 5 abad.
Kemudian PP Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jabar, disebut Ki Jatira pada tahun 1705: kini berusia 319 tahun.
Begitu pula PP Tegalsari, Ponorogo, Jatim disebut didirikan Kiai Ageng Muhammad Besari pada tahun 1742: telah berusia 282 tahun.
Itu jawaban berdasarkan tradisi lisan, yang tidak menyajikan bukti-bukti ilmu pengetahuan yang memadai.
Survei Pendidikan Pertama
Sedangkan berdasarkan ilmu pengetahuan, bukti tertua mengenai data pendidikan Indonesia diperoleh dari survei pendidikan pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda (nama sebelum Indonesia berdiri) pada tahun 1819.
Dalam laporan survei ini tidak disebutkan nama lembaga pesantren, sehingga mengesankan pesantren yang sebenarnya belum ada.
Disepakati para ilmuwan pesantren memiliki lima unsur, yaitu masjid, kiai, pondok, santri, dan pengajian kitab kuning (tafaqquh fi al-din). Artinya, jika kelima unsur ini tidak ada dalam lembaga pendidikan tersebut, maka ia tidak dapat disebut pesantren.
Definisi pesantren itu dapat ditengok pada buku induk karya Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (2011).
Nah lembaga pendidikan pesantren tersebut belum ada. Yang ada adalah lembaga pendidikan mirip pesantren, yang dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo.
Sementara itu di daerah lain sama sekali tidak terdapat lembaga pendidikan resmi, kecuali pendidikan informal di rumah-rumah dan mesjid.
Paguron atau Padepokan
Hasil survei ini dipaparkan ahli Islam terkemua Martin van Bruinessen dalam artikel ilmiahnya, “Pesantren and kitab kuning: maintenance and continuation of a tradition of religious learning” (1994)
Bruinessen juga menjelaskan sumber sejarah tradisional yang menyinggung pesantren, yaitu naskah tua Serat Centini, yang menyinggung tentang “Pesantren Karang” di Banten. Naskah ini juga menyebut seorang guru dari Karang, Seh Bari, yang juga disebutkan dalam primbon Banyumas.
Keterangan mengenai Seh Bari, disampaikan seorang peneliti terkemuka asal Belanda yang lama tinggal di Hindia Belanda, Gerardus Willebrordus Drewes (1969).
Dalam penelaahannya, ia menduga bahwa Seh Bari itu adalah tokoh yang nasihat-nasihatnya terdapat dalam Wejangan Seh Bari, salah satu dari dua naskah Islam Jawa tertua yang ditulis sekitar abad ke-16.
Sungguhpun demikian, naskah-naskah tersebut sama sekali tidak menyebut kata pesantren.
Naskah Banyumas misalnya, hanya membicarakah seorang syaikh. Sedangkan Serat Centini, yang kadang-kadang membicarakan “perguruan” tidak menyebut pesantren, melainkan “paguron” atau “padepokan”.
Sedangkan kitab lainnya, Sajarah Banten, yang disusun sekitar paruh pertama abad ke-17, tidak menyebut paguron di Karang, maupun di tempat-tempat lainnya.
Naskah ini justru menyatakan bahwa tempat itu banyak didatangi orang-orang yang ingin bertapa. Satu-satunya pengajaran agama yang disebutkan dalam kitab itu adalah pendidikan pribadi putra mahkota di tangan kiai dukuh dan qadhi kesultanan.
Jadi pada abad ke-16-17 pesantren belum muncul. Yang ada adalah guru yang mengajarkan Islam di mesjid atau istana dan para ahli tasawuf yang berpusat di tempat-tempat pertapaan atau makam keramat.
Demikian pula pada abad ke-19 belum ada pesantren. Kalau ada, tentu telah dilaporkan dalam survei pertama pendidikan pemerintah Hindia Belanda.
Begitulah jawaban ilmu pengetahuan (bukan tradisi lisan) tentang asal-usul pesantren.*