IDEJABAR- Berdirinya Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung, tak lepas dari situasi politik di Jawa Barat (Jabar) dan Indonesia pada dasawarsa 1950-an.
Kala itu muncul keresahan di antara para tokoh Sunda. Mereka merasa diperlakukan semena-mena oleh para elit politik pusat.
Orang Sunda dituduh “co”, singkatan dari kata cooperatie (bekerjasama); maksudnya bekerja sama dengan Belanda di masa revolusi 1945-1949, antara lain dengan mendirikan Negara (boneka) Pasundan.
Orang Sunda dituding membesar-besarkan sukuime, kemudian banyak pejabat tinggi orang Sunda digeser secara tidak etis dari kedudukannya dalam pemerintahan di Tatar Sunda.
Gangguan keamanan juga berlangsung nyaris tiada henti, terutama datang dari Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwirjo.
Para pemuda yang hendak mencari ilmu di perguruan tinggi menemui banyak hambatan. Mereka mesti ke Jakarta atau bahkan ke Yogyakarta.
Keresahan para tokoh Sunda ini ramai dibicarakan di koran-koran, lalu bermuara pada diselenggarakannya Kongres Pemuda Sunda di Bandung, 4-7 November 1956.
Salah satu tuntutan yang mengemuka dalam kongres ini ialah perlu didirikan perguruan tinggi di Tatar Sunda sebagaimana di Yogyakarta. Demikianlah gambaran yang diberikan Prof. Dr. Edi S. Ekadjati dalam artikelnya “Kongres Pemuda Sunda: ‘Cermin Merah’ Penyebabnya” (2014).
Sebenarnya, pada 1955 telah berdiri beberapa perguruan tinggi negeri di Bandung, tetapi bukan universitas yang menyediakan pendidikan dari berbagai disiplin ilmu, sebagaimana yang dikehendaki warga Jabar.
Perguruan tinggi yang sudah tersedia di Bandung ialah Fakultas Teknik dan FIPIA (Ilmu Pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam) yang merupakan bagian dari Universiteit van Indonesie (UI). Di zaman kolonial, kedua fakultas ini dikenal dengan nama Technicshe Hoogeschool te Bandoeng. Selain itu terdapat Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG).
Upaya Pemimpin Sunda
Para pemimpin masyarakat Jabar kemudian menyusun Panitia Pembentukan Universitas Negeri (PPUN) pada 14 Oktober 1956. Panitia ini membentuk delegasi yang terdiri dari Prof. Muh. Yamin, Mr. Soenardi, Mr. Bushar Muhammad, dan beberapa orang tokoh masyarakat Jabar lainnya.
Delegasi tersebut bertugas menyampaikan aspirasi rakyat Jabar mendirikan universitas negeri di Bandung kepada pemerintah pusat, DPR Kabupaten dan Kota Besar Bandung, Gubernur Jabar, Presiden UI, Ketua Parlemen, Menteri PPK, dan Presiden RI.
Gayung bersambut, pemerintah pusat menerima aspirasi tersebut dengan membentuk Panitia Negara Pembentukan Universitas Negeri (PNPUN) di Kota Bandung pada Februari 1957.
Disusul dengan pembentukan Badan Pekerja (BP) PNPUN yang diketuai Gubernur Jabar R. Ipik Gandamana pada Agustus 1957, yang hasilnya adalah berdirinya Universitas Padjadjaran (UNPAD) pada Rabu 11 September 1957.
Nama Padjajaran diambil dari salah satu pusat Kerajaan Sunda yang paling terkenal dan melekat di hati masyarakat Jabar.
Sekitar dua minggu kemudian fungsi BP PNPUN diubah menjadi Presidium UNPAD, yang dilantik Presiden RI pada 24 September 1957 di kantor gubernur Bandung
Kampus Urang Sunda
Pemerintah menunjuk Mr. Iwa Koesoemasoemantri sebagai presiden pertama UNPAD, didampingi Senat Universitas dengan Sekretaris Prof. M. Sadarjun Siswomartojo, Mr. Kusumahatmadja, dan Mr. Bushar Muhammad.
Sejak 1963, sebutan presiden universitas, diubah menjadi rektor dan sebutan sekretaris universitas atau kuasa presiden, diubah menjadi pembantu rektor.
Pada saat didirikan, UNPAD terdiri dari empat fakultas: (1) Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat; (2) Fakultas Ekonomi; (3) Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan (FKIP), dan; (4) Fakultas Kedoktean. Dua fakultas yang disebut pertama, semula adalah fakultas di Universitas Merdeka di Bandung. Sedangkan FKIP semula adalah PTPG di Bandung.
Dalam perkembangan berikutnya, FKIP berdiri sendiri, terpisah dari dari UNPAD pada 1963, berganti nama menjadi Institut Keguruan & Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung. Selanjutnya IKIP Bandung diubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada 1999.
Fakultas Kedokteran UNPAD, dekan pertamanya dijabat oleh Prof. dr. R.M. Djoehana Wiradikarta (1896-1986), seorang guru besar mikrobiologi dan serologi ITB, guru besar FK UNPAD, serta tokoh yang aktif dalam dunia pendidikan tinggi.
Di tahun-tahun awal UNPAD beroperasi, kampus ini memang memprioritaskan mahasiswa Sunda. Tak aneh bila orang suka menyebut UNPAD adalah “kampus orang Sunda”.
Almarhumah dr Hanariah Sudjaja Sp.A (1938-2014) merasakan sendiri hal ini. Ia mahasiswa Fakultas Kedokteran UNPAD angkatan pertama 1957.
Sebelumnya, Hanariah sudah kuliah di Jurusan Farmasi ITB, lalu mendaftar ke FK UNPAD. Seleksinya hanya dilihat dari nilai-nilai rapor semasa SMA. Dari 1.600 pelamar, hanya 60 orang yang diterima; dan dari 60 orang itu, perempuan diberi jatah 10 persen (6 orang).
“Rapor saya dilihat, berasal dari mana sekolahnya. Waktu diwawancarai, saya katakan, saya orang Sunda, orang tua juga Sunda. Saya memang sekolah di Pontianak, tapi saya orang Sunda. Kemudian saya diterima, mula-mula sebagai cadangan. Setelah teman-teman kuliah sebulan, barulah saya bergabung,” kata Hanariah, sebagaimana dikutip dari buku Makin Sepuh Makin Ampuh: Biografi Prof. Dr. H. Wahyu Karhiwikarta, dr SpKO AIF (2019).
Untuk memperkuat posisi tawarnya, Hana mengatakan kepada pewawancaranya, “Saya juara se-kota Pontianak. Saya tidak katakan bahwa waktu itu di Pontianak SMA baru satu. Jadi kalau juara di SMA, ya juara satu kota.”
Sejak berdiri sampai sekarang Rektor UNPAD hampir seluruhnya orang Sunda, boleh jadi itu sebabnya UNPAD masih sering disebut kampus urang Sunda.*