IDEJABAR – Skandal besar proyek pembangunan Jalan Tol Cisumdawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan) kembali mengemuka dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung. Rabu, 25 September 2024, sidang menghadirkan lima saksi yang membeberkan berbagai kejanggalan dalam proses pembebasan lahan, mulai dari sertifikat ganda hingga manipulasi data tanah. Proyek yang digadang-gadang sebagai proyek strategis nasional ini ternyata dirusak oleh praktik korupsi berjamaah, yang merugikan negara hingga Rp329,7 miliar.
Baca Juga: Pemilu Serentak 2024: INILAH Empat Artis Berstatus Janda Yang Lolos ke Senayan
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Panji Surono memperlihatkan bagaimana pelanggaran sistematis telah terjadi selama bertahun-tahun dalam proyek Tol Cisumdawu, yang seharusnya mempercepat konektivitas wilayah Jawa Barat. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, proyek ini justru menjadi ladang korupsi yang melibatkan banyak pejabat dan pengusaha.
Pengakuan Mengejutkan: Tanah Kosong Berubah Jadi Bangunan
Persidangan dibuka dengan kesaksian Agus Sumiarsa, mantan Kepala BPN Kabupaten Sumedang yang menjabat dari 2019 hingga 2021. Dalam keterangannya, Agus mengungkapkan adanya ketidaksesuaian antara peta tanah yang diserahkan dalam proses ganti rugi dengan kondisi fisik di lapangan. Beberapa bidang tanah yang dilaporkan kosong ternyata sudah berdiri bangunan, sementara bidang lain yang tercatat ada bangunan ternyata hanyalah lahan kosong.
"Kami menemukan banyak perbedaan antara data yang diajukan dengan fakta di lapangan. Salah satu contohnya, tanah yang seharusnya kosong ternyata sudah ada bangunan, dan sebaliknya. Ini jelas ada masalah di sini," ujar Agus Sumiarsa di hadapan majelis hakim.
Kejanggalan ini mencuat ketika kuasa hukum terdakwa menanyakan terkait kelengkapan dokumen Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Menurut Agus, perubahan status tanah dari tanah adat menjadi tanah bersertifikat semestinya dilakukan sesuai aturan yang jelas, dengan nama pemilik dan bukti identitas yang sah. Namun, dalam kasus ini, banyak data yang tak sesuai dan menimbulkan keraguan akan keabsahan proses ganti rugi.
Korupsi Berkelompok di Balik Mega Proyek
Kasus korupsi Tol Cisumdawu bukan hanya melibatkan satu atau dua individu, melainkan sebuah jaringan yang diduga saling bekerjasama untuk memperkaya diri. Para terdakwa dalam kasus ini, termasuk Dadan Setiadi Megantara, Direktur PT Wista Raya, dan beberapa pejabat BPN seperti Agus Priyono dan Mono Igfirly, diduga terlibat dalam manipulasi dokumen dan pengalihan hak tanah secara tidak sah.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan bahwa tanda tangan ganda dalam dokumen pembebasan lahan, yang seharusnya menjadi indikasi kejanggalan, tidak pernah diverifikasi dengan baik. Bahkan, sertifikat ganda juga ditemukan, yang semakin memperburuk proses validasi hak tanah.
Ketegangan di Ruang Sidang: Saksi Tak Ingat, Bukti Tak Sesuai
Suasana persidangan sempat memanas saat JPU menanyakan kesesuaian bukti fisik tanah yang dimaksud dengan berkas BAP. Saksi Agus terlihat kebingungan dan beberapa kali mengaku lupa saat dimintai penjelasan lebih lanjut oleh hakim. Jawaban-jawaban yang tidak konsisten ini menambah keraguan akan kredibilitas proses ganti rugi yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Selain Agus Sumiarsa, persidangan juga menghadirkan saksi lain seperti Undang Umbaran, seorang marketing yang mengaku hanya menawarkan tanah yang sudah dibangun perumahan. Namun, dia tidak mengetahui siapa pemilik sah tanah tersebut karena masih terdaftar atas nama orang lain.
Saksi lainnya, Heni Anggreani, menambahkan bahwa dirinya hanya menyampaikan berkas kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan tidak tahu menahu soal proses yang lebih dalam. Kesaksian ini semakin mengaburkan garis tanggung jawab dalam proyek yang diduga telah menjadi sarang korupsi tersebut.
Sertifikat Ganda dan Perubahan Hak Tanah Tanpa Prosedur
Skandal ini berawal pada tahun 2019 ketika proses pembebasan lahan untuk Tol Cisumdawu Seksi 1 dimulai di Desa Cilayung, Kecamatan Jatinangor, Sumedang. Tim Satgas B yang dipimpin oleh Asep Putra dan Asep Rahmat bertugas mengumpulkan data tanah dan menyusunnya dalam Daftar Nominatif (DANOM) untuk diserahkan kepada Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Data tersebut kemudian digunakan untuk menentukan Nilai Penggantian Wajar (NPW).
Namun, dalam persidangan, terungkap bahwa validasi data tersebut bermasalah. Ditemukan adanya sertifikat ganda, penambahan luas tanah yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, dan banyak kejanggalan lainnya. Para saksi juga mengaku bahwa beberapa dokumen yang digunakan dalam proses ganti rugi seharusnya segera diperbaiki karena terdapat kesalahan penulisan dan nomor sertifikat yang tidak valid.
Baca Juga: Mari Kita Simak: Adakah Tanggal Merah Di Bulan Oktober?
Kasus korupsi Tol Cisumdawu menjadi tamparan keras bagi pemerintah dalam pengelolaan proyek-proyek strategis nasional. Dengan kerugian negara yang mencapai Rp329,7 miliar, masyarakat menuntut transparansi dan penegakan hukum yang tegas terhadap semua pihak yang terlibat.
Jaksa Penuntut Umum juga menegaskan bahwa sidang selanjutnya akan fokus pada bukti lebih lanjut terkait dugaan penyelewengan anggaran, pemalsuan dokumen, dan pengalihan hak tanah secara ilegal. Para terdakwa diharapkan memberikan keterangan yang lebih jelas, sementara pihak pengadilan berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini dengan seadil-adilnya.
Kasus ini bukan hanya soal pembangunan infrastruktur, tetapi juga pertaruhan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan tata kelola negara. Jika kasus korupsi berjamaah ini dibiarkan tanpa hukuman yang setimpal, maka proyek-proyek pembangunan lainnya bisa bernasib sama.***